Beranda | Artikel
Perbedaan antara wali-wali Allah dan wali-wali syaithon
Selasa, 21 September 2010

Anggapan yang telah menyebar di kaum muslimin pada umumnya, terutama yang ada di Indonesia bahwasanya yang disebut wali Allah adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. Yaitu mampu melakukan hal-hal yang ajaib yang disebut dengan karomah para wali. Sehingga jika ada seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi tentang syari’at Islam namun tidak memiliki kekhususan ini maka kewaliannya diragukan. Sebaliknya jika ada seseorang yang sama sekali tidak berilmu bahkan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah ta’ala, namun dia mampu menunjukan keajaiban-keajaiban (yang dianggap karomah) maka orang tersebut bisa dianggap sebagai wali Allah. 

Hal ini disebabkan karena kaum muslimin (terutama yang di Indonesia) sejak kecil telah ditanamkan pemahaman yang rusak ini. Apalagi ditunjang dengan sarana-sarana elektronik seperti adanya film-film para sunan yang menggambarkan kesaktian para wali[1]. Tentunya hal ini adalah sangat berbahaya yang bisa menimbulkan rusaknya aqidah kaum muslimin.

Ketahuilah Allah ta’ala telah menjelaskan dalam kitab-Nya dan sunnah Rosul-Nya bahwasanya Allah ta’ala memiliki wali-wali dari golongan manusia dan demikian pula syaithon juga memiliki wali-wali dari golongan manusia. Maka Allah  membedakan antara para wali Allah dan para wali syaithon.[2] Sebagaimana firman Allah ta’ala :

 

}اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ{ (البقرة:257)

Allah adalah wali (penolong) bagi orang-orang yang beriman. Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir penolong-penolong mereka adalah thogut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan-kegelapan. (Al-Baqoroh : 256)

}فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ{ (النحل:100-98)

Jika engkau membaca Al-Qur’an maka berlidunglah kepada Allah dari (godaan) syaithon yang terkutuk. Sesungguhnya tidak ada kekuatan baginya terhadap orang-orang yang beriman dan mereka bertawakal kepada Robb mereka. Hanyalah kekuatannya terhadap orang-orang yang berwala’ kepadanya dan mereka yang dengannya berbuat syirik. (An-Nahl :98-100)

}وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيّاً مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَاناً مُبِيناً{ (النساء:119)

Dan barangsiapa yang menjadikan syaithon sebagai wali selain Allah maka dia telah merugi dengan kerugian yang nyata (An-Nisa’ : 119)

}الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفاً{ (النساء:76)

Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dan orang-orang kafir berperang di jalan thogut. Maka perangilah para wali-wali syaithon sesungguhnya tipuan syaithon itu lemah. (An-Nisa’ : 76)[3]

Maka wajib bagi kita untuk membedakan manakah yang merupakan wali-wali Allah dan manakah yang merupakan wali-wali syaithon, sebagaimana Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakannya.[4]

Definisi wali

Wali diambil dari lafal al-walayah yang merupakan lawan kata dari al-‘adawah. Adapun arti dari al-walayah adalah al-mahabbah (kecintaan) dan al-qorbu (kedekatan). Sedangkan arti al-‘adawah adalah al-bugdlu (kebencian) dan al-bu’du (kejauhan). Sedangkan wali artinya yang dekat.[5]

Siapakah yang disebut wali Allah ?

Yang disebut wali Allah adalah orang yang dia mencintai Allah ta’ala dan dekat dengan Allah ta’ala. Dan orang seperti ini harus memiliki sifat-sifat berikut :

1.      Dia harus ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

}قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ{ (آل عمران:31)

Katakanlah :”Jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku maka Allah akan mencintai kalian dan memaafkan kalian dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imron :31)

Ayat ini merupakan ayat ujian yang turun untuk menguji orang-orang yang mengaku mencintai Allah ta’ala (termasuk di dalamnya orang yang mengaku dia adalah wali Allah). Jika dia benar mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kecintaannya kepada Allah ta’ala adalah benar, dan jika tidak maka cintanya adalah dusta.

2.      Dia harus bersifat lembut kepada kaum muslimin dan keras kepada kaum kafir, dan berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang-orang yang mencela, sesuai dengan firman Allah ta’ala:

}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ{ (المائدة:54)

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang mutad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 5:54)

Hal ini sangatlah bertentangan dengan sifat sebagian orang yang mengaku dirinya wali, atau dianggap wali oleh masyarakat yang sifatnya sangat dekat dengan orang-orang kafir, bahkan mengagumi orang-orang kafir.

3.      Dia harus bertaqwa dan beriman, yaitu beriman dengan hatinya dan bertaqwa dengan anggota tubuhnya, sesuai dengan firman Allah ta’ala:

}أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ{ (يونس:-6263)

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (Yunus : 62,63)

Maka barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah namun tidak memiliki sifat-sifat ini maka dia adalah pendusta.[6]

Orang Gila Wali???

Oleh karena itu sungguh keliru persangkaan sebagian orang yang mengangkat orang gila sebagai wali. Bahkan sebagian orang meyakini bahwa orang gila tersebut hanyalah telah sampai kepada derajat kewalian jika telah gila dan tatkala ia belum gila ia belum menjadi wali sejati.

Berkata Ibnu Taimiyah dalam Al-Furqon ((Jika seorang hamba tidak bisa menjadi seorang wali hingga menjadi seorang yang beriman dan bertakwa…maka tentu telah diketahui bahwa tidak seorangpun dari orang-orang kafir dan orang-orang munafik yang merupakan wali Allah maka demikan pula orang-orang yang tidak sah imannya dan ibadahnya –meskipun mereka tidak berdosa misalnya- …sebagaimana orang gila dan anak-anak karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يُفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Diangkat pena dari tiga (golongan), orang gila yang hilang akalnya hingga sadar, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari anak kecil hingga bermimpi (dewasa)”[7]

…Namun anak-anak yang mumayyiz (telah bisa membedakan/ sudah ngerti jika diberi tahu-pen) maka sah ibadah mereka dan diberi pahala menurut pendapat mayoritas ulama. Adapun orang gila yang diangkat pena darinya maka ibadahnya sama sekali tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama, tidak sah keimanan yang dilakukannya (sebagaimana juga jika ia melakukan kekufuran), sholat, dan ibadah-ibadah yang lainnya.

Bahkan menurut seluruh orang yang berakal bahwasanya orang gila tidak layak untuk mengerjakan urusan-urusan duniawi seperti berdagang dan industri. Maka tidak layak untuk menjadi penjual kain, atau penjual minyak wangi, tukang besi, tukang kayu. Dan tidak sah transaksi-transaksi yang dilakukannya, tidak sah penjualannya, pembeliannya, nikahnya, cerainya, pembenarannya, persaksiannya, dan perkataan-perkataannya yang lainnya, bahkan seluruh perkataannya semuanya tidak ada artinya, tidak berkaitan dengan hukum syar’i, tidak ada pahalanya, dan tidak ada hukuman.

Maka jika orang gila tidak sah keimanannya, ketakwaannya, demikian juga taqorrubnya kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban dan perkara-perakara yang sunnah, maka tidak boleh seorangpun yang meyakini bahwa ia adalah wali Allah, apalagi dalihnya adalah karena mukasyafat yang ia dengar dari orang gila tersebut atau karena perbuatan orang gila itu seperti ia telah melihat orang gila itu menunjuk kepada seseorang lalu orang tersebut meninggal atau terkapar. Karena sesungguhnya telah diketahui bahwasanya orang-orang kafir dan orang-orang munafik dari kalangan kaum musyrikin dan ahlul kitab mereka juga memiliki mukasyafaat (mengungkap tabir rahasia)[8] dan perbuatan-perbuatan yang dibantu syaitan seperti para dukun dan tukang sihir…maka tidak boleh bagi seorangpun hanya sekedar berdalih dengan hal-hal tersebut untuk menunjukan bahwa seseorang adalah wali Allah -meskipun ia tidak mengetahui apakah orang itu melakukan perkara-perkara yang membatalkan kewaliannya kepada Allah-)).

Ibnu Abil ‘Izz berkata, “Adapun yang terjadi pada sebagian mereka -tatkala mendengar lagu-lagu yang indah- berupa igauan dan berbicara dengan bahasa-bahasa yang lain dengan bahasa yang biasa digunakannya, maka itu adalah syaitan yang berbicara melalui lisannya sebagaiman syaitan yang berbicara melalui lisan orang yang kemasukan syaitan. Ini semua merupakan perbuatan-perabuatan syaitan.

Bagaimanakah mungkin hilangnya akal merupakan sebab atau ibadah atau syarat untuk menjadi wali Allah??, sebagaimana yang disangka oleh banyak orang-orang sesat. Bahkan seorang dari mereka berkata,

هُمْ مَعْشَرٌ حَلُّو النِّظَامَ وَخَرَّقُوا ال               سيَاجَ فَلاَ فَرْضَ لَدَيْهِمْ وَلاَ نَفْلَ

مَجَانِيْنُ إِلاَّ أَنَّ سِرَّ جُنُوْنِهِمْ                 عَزِيْزٌ عَلَى أَبْوَابِهِ يَسْجُدُ الْعَقْلُ

Mereka (orang-orang gila yang dianggap wali) telah membuka (ikatan) aturan (syari’at) dan mereka memporak-porandakan pagar-pagar (aturan).

Maka tidak ada lagi (yang namanya) kewajiban bagi mereka dan tidak juga (yang namanya) sunnah (mustahab).

Orang-orang gila, hanya saja rahasia kegilaan mereka adalah besar dimana akal sujud pada  pintu-pintu rahasia tersebut

Dan ini adalah perkataan orang yang sesat bahkan kafir, yang menyangka bahwa pada kegilaaan ada sebuah rahasia yang akal sujud pada pintu rahasia tersebut karena ia melihat dari sebagian orang-orang gila tersebut suatu mukaasyafah (penglihatan di masa datang) atau tindakan yang ajaib yang luar biasa yang hal itu disebabkan bantuan syaitan sebagaimana yang terjadi pada para tukang sihir dan para dukun. Maka orang sesat ini menyangka bahwa setiap orang yang bisa mukasyafah atau melakukan hal yang luar biasa adalah seorang wali Allah. Barangsiapa yang berkeyakinan seperti ini maka ia adalah kafir. Allah telah berfirman

}هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ, َنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ { (الشعراء : 221 -222 )

Apakah akan aku beritahukan kepadamu, kepada siapkah syaithon-syaithon itu turun ?, mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithon) itu, dan kebanyakan mereka adalah pendusta. (As-Syu’aro’ : 221-222)

Dan setiap orang yang syaitan turun kepadanya maka pasti ia melakukan kedustaan dan kefajiran”[9]

Ibnu Abil ‘Izz berkata, “Barangsiapa yang meyakini bahwa sebagian orang-orang dungu (agak gila) –yang meninggalkan ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam pembicaraannya, amalan-malannya, maupun keadaan-keadaannya- bahwsanya mereka termasuk wali-wali Allah, dan lebih utama daripada para pengikut jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah orang yang sesat, mubtadi’, dan salah dalam beraqidah. Karena orang dungu tersebut kalau bukan ia adalah syaitan yang zindiiq…, atau seorang gila yang mendapat udzur. Maka bagaimana ia bisa lebih mulia daripada orang yang termasuk wali-wali Allah yang mengikuti sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam??? Atau menyamainya???. Dan tidaklah dikatakan bahwa mungkin saja orang dungu ini mengikuti sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di batin meskipun ia meninggalkan ittiba’ di dzohir??. Ini sesungguhnya juga merupakan kesalahan, dan yang wajib adalah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara batin maupun secara zhohir”[10]

Diantara mereka ada yang berdalil dengan hadits yang lemah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

اطَّلَعْتُ على الجنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهاَ البُلْهَ

“Aku melihat surga ternyata aku lihat mayoritas penghuninya adalah orang-orang dungu”[11]

Ibnu Abil ‘Izz berkata[12], “Hadits ini tidak sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena surga hanyalah diciptakan bagi ulil Albab yang akal mereka mengantarkan mereka kepada beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, dan hari ahkir. Allah telah menyebutkan para penghuni surga beserta ciri-ciri dan sifat-sifat mereka dalam Al-Qur’an dan Allah (sama sekali) tidak menyebutkan bahwa diantara sifat penduduk surga adalah kedunguan. (Yang benar) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah bersabda

اطَّلَعْتُ على الجنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهاَ الفُقَرَاءَ

“Aku melihat surga ternyata aku lihat mayoritas penghuninya adalah orang-orang faqir”[13]

Islam adalah agama yang menyeru manusia untuk menggunakan akalnya memikirkan ayat-ayat Allah, dan bukanlah agama yang menyeru kepada kedunguan apalagi kegilaan, karena hal ini tidakalah bisa diterima fitroh manusia, tidak diterima oleh akal sehat, bahkan orang gilapun mungkin tidak menerimanya.

Akal adalah anggota tubuh yang membedakan antara hewan dan manusia, akal merupakan tempat memahami, dengan akal seseorang bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan, antara hak dan batil. Oleh karena itu agama Islam sangat memperhatikan penjagaan akal dan menjadikan sebagai tempat digantungkannya “taklif” (beban untuk menjalankan hukum-hukum syari’at) dan Islam menjatuhkan taklif bagi orang yang kehilangan akal sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم

“Diangkat pena dari tiga (golongan), orang gila yang hilang akalnya hingga sadar, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari anak kecil hingga bermimpi (dewasa)”[14]

Oleh karena itu merupakan perbuatan kriminal seseorang terhadap akalnya sendiri dengan meniadakan fugsi akal dan menghentikan aktifitas akal. Orang tersebut pantas untuk dihukum akibat perbuatan kriminalnya tersebut walaupun pada hakikatnya orang tersebut telah berbuat kriminal terhadap dirinya sendiri dimana ia telah menutup akalnya sehingga jadilah ia seperti hewan atau lebih parah yang tidak bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan karena alat yang digunakannya untuk membedakan telah ia rusakan fungsinya.

Apakah merupakan tindakan seorang yang memiliki akal untuk berusaha untuk menghilangkan fungsi akalnya?? yang akal merupakan alat yang sangat teliti yang mampu mencatat masa lalunya dengan baik serta membuatnya berjalan dalam jalan yang teratur, serta memberikan gambaran yang baik di  masa depan, apakah ada orang yang berakal yang ingin menghilangkan fungsi akalnya??. Sesungguhnya orang yang menghilangkan fungsi akalnya dengan sengaja, perbuatannya itu menunjukan bahwa ia bisa tanpa akalnya, ia tidak butuh dengan akalnya, ia ingin berjalan di atas muka bumi dengan keadaannya yang tanpa akal, dia ingin seperti hewan-hewan yang tidak bisa membedakan, atau seperti benda-benda mati yang tidak bisa merasakan apa yang terjadi di daerah sekitarnya[15]

Oleh karena itu orang-orang yang mendengarkan lagu-lagu hingga pingsan (hilang akal mereka) adalah para mubtadi’ yang sesat, tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berusaha melakukan perkara-perkara yang menyebabkan hilangnya akalnya, tidak ada seorang sahabat maupun seorang tabi’in pun yang melakukan demikian, bahkan tatkala mereka mendengarkan Al-Qur’an. Akan tetapi mereka sebagaimana yang disifatkan oleh Allah

إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (الأنفال : 2 )

Apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal (QS. 8:2)

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَاباً مُّتَشَابِهاً مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَن يُضْلِلْ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ (الزمر : 23 )

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah.Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. (QS. 39:23)[16]


Yang lebih parah dari orang gila yaitu yang diketahui melakukan perkara-perkara yang membatalkan tauhid, apakah seorang wali??

Ibnu Taimiyah berkata, ((Bagaimana lagi jika diketahui bahwasanya ia telah melakukan hal-hal yang membatalkan kewalian kepada Allah??, misalnya diketahui bahwasanya (1) ia tidak meyakini wajibnya mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara dzohir dan batin namun ia hanya meyakini wajibnya mengikuti Rasulullah pada syari’at-syari’at yang dzhahir dan bukan yang batin, atau (2) meyakini bahwa para wali memiliki jalan menuju Allah yang berbeda dengan jalan para nabi. Atau (3) ia berkata bahwa para nabi hanyalah mempersulit jalan atau (4) para nabi hanyalah teladan bagi orang-orang umum dan bukan teladan bagi orang-orang khusus dan yang semisalnya yang telah keluar dari mulut-mulut orang-orang yang mengaku-ngaku mereka adalah wali-wali Allah. Mereka ini terdapat pada mereka perkara-perkara kekufuran yang membatalkan keimanan apalagi kewalian??. Barangsiapa yang berdalil dengan hal-hal aneh yang dilakukan oleh mereka untuk menunjukan kewalian mereka maka ia lebih sesat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani))

Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, ((Inilah yang menyebabkan bid’ah-bid’ah dan kesyirikan tersebar merajalela di negeri-negeri dikarenakan kesalahan keyakinan tentang wali (yaitu meyakini bahwa wali adalah orang yang bisa melakukan hal yang luar biasa meskipun ia adalah ahli maksiat –pen). Karena jika wali (palsu yang pada hakekatnya bukan wali) hidup dan fasik maka ia menjadikan masyarakat suka terhadap sebagian kemungkaran atau sebagian bid’ah agar ia bisa memperoleh uang atau kedudukan atau yang lainnya dari mereka. Masyarakatpun meyakini bahwa ia adalah seorang wali lalu merekapun mengikuti kemungkaran dan kebid’ahan yang dilakukannya itu. Mereka berkata “Ini adalah wali fulan”. Untuk bisa menghancurkan kondisi yang seperti ini adalah dengan menegakkan dalil (menanamkan keyakinan kepada masyarakat) bahwa kewalian tidaklah diperoleh kecuali bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa… (namun) para wali pendusta mereka menyebarkan kepada masyarakat bahwa amalan dzohir para wali tidak sama dengan amalan batin mereka sehingga mereka ingin menepis penjelasan (ahlussunnah) yang benar ini. Mereka berkata, “Wali ini dzohirnya mengamalkan perkara-perkara (maksiat) namun di batinnya hatinya dan amalannya adalah untuk Allah. Diantara mereka ada suatu kelompok yang namanya “Al-Malamiyah” yang mereka adalah orang-orang yang karena ingin ikhlas maka mereka menampakkan perkara-perkara yang menyelisihi tauhid atau menyelisishi keistiqomahan, atau menyelisihi keikhlasan agar mereka dituduh dengan riya’[17]. Mereka berkata, “Kami menampakkan seperti ini demi keikhlasan” agar tidak dikatakan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang riya’. Maka merekapun menyembunyikan ketaatan mereka dan mereka menampakkan kefasikan agar mereka tidak berbuat riya’ di hadapan manusia. Al-Fudhail bin ‘Iyadh telah berkata tentang orang-orang semodel mereka ini, العمل لغير الله رياء وترك العمل لغير الله شرك “Beramal karena selain Allah adalah riya’ dan meninggalkan amal karena selain Allah adalah kesyirikan”. Mereka menyangka mereka telah terlepas dari riya’ namun mereka terjatuh dalam kesyirikan karena mereka telah meninggalkan amal karena manusia…yaitu meninggalkan amalan-amalan yang wajib.))[18]

Seorang wali tidaklah maksum sebagaimana seorang nabi

Namun perlu diperhatikan bukanlah syarat seorang wali dia harus ma’sum (tidak pernah berbuat salah), dan tidak pula dia harus menguasai seluruh ilmu syari’at. Bahkan boleh baginya tidak mengetahui sebagian syari’at atau masih samar baginya sebagian perkara agama. Oleh karena itu tidak wajib bagi manusia untuk mengimani seluruh apa yang dikatakan oleh seorang wali Allah karena dia bukanlah seorang nabi, tetapi seluruh yang dikatakannya dikembalikan kepada ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sesuai, maka perkataannya diterima dan jika tidak, maka ditolak. Jika tidak diketahui apakah sesuai atau tidak dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tawaquf.[19] Dan inilah sikap yang benar kepada wali Allah. Adapun sikap yang salah kepada wali Allah yaitu membenarkan semua apa yang diucapkan dan yang dilakukannya, atau sebaliknya jika melihat dia mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyelisihi syari’at maka langsung mengeluarkan dia dari kewaliannya.[20]


Umar bin Al-Khotthob merupakan contoh wali Allah namun ia tidaklah maksum

Umar bin Al-Khottob radhiyallahu ‘anhu adalah contoh seorang wali Allah,  yang Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya

قَدْ كَانَ فِيْمَا قَبْلَكُمْ مِنَ الأُمَمِ نَاسٌ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكُنْ مِنْ أُمَّتِيْ أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ

Pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsun (yang mendapatkan sejenis ilham dari Allah)[21]. Kalaupun ada di kalangan umatku satu orang, maka dia adalah Umar.[22]

إِنَّ اللهَ وَضَعَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُوْلُ بِهِ

Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran pada lisan Umar yang ia mengucapkan kebenaran tersebut.[23]

لَوْ كَانَ نَبِيٌّ بَعْدِي لَكَانَ عُمَرَ

Kalaulah ada nabi setelahku maka dia adalah Umar.[24]

Hadits-hadits ini jelas menunjukan bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang wali Allah, bahkan beliau mendapatkan ilham dari Allah. Selain itu beliau pernah melakukan hal-hal yang ajaib sebagaimana beliau pernah mengutus sebuah pasukan dan beliau mengangkat seorang pemuda yang bernama Sariyah untuk memimpin pasukan tersebut. Tatkala Umar sedang berkhutbah di atas mimbar, beliau berteriak :”Wahai Sariyah, gunung !, wahai Sariyah, gunung !”. Lalu utusan pasukan tersebut menemui Umar dan berkata : “Wahai Amirul Mu’minin, kami bertemu musuh, tiba-tiba ada suara teriakan :”Wahai Sariyah, gunung!”, lalu kami menyandarkan punggung-punggung kami ke gunung kemudian Allah memenaggkan kami”.[25]

Beliau juga sangat ditakuti oleh Syaitan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar,

يَا بْنَ الْخَطَّاب وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ قَطْ سَالِكًا فَجًّا إِلاَّ سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ

“Wahai Ibnul Khotthob, -demi Yang jiwaku berada di tanganNya- tidaklah syaitan bertemu dengan engkau di jalan manapun kecuali ia mencari jalan yang lain”[26]

Namun hal ini tidak menunjukan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu harus ma’sum (terjaga dari kesalahan). Kesalahan yang pernah beliau lakukan diantaranya [27]:

1. Yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berumroh pada tahun ke enam Hijroh bersama sekitar 1400 kaum muslimin –mereka itu adalah yang berbai’at di bawah pohon- dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengadakan perjanjian damai (perjanjian Hudaibiyah) dengan kaum musyrikin setelah melalui perundingan dengan kaum musrikin. Keputusan perundingan tersebut adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin kembali ke Madinah pada tahun ini dan akan berumroh pada tahun yang akan datang. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi beberapa syarat terhadap mereka yang dalam syarat-syarat tersebut ada tekanan kepada kaum muslimin secara dzohir, sehingga hal itu memberatkan kebanyakan kaum muslimin, sedangkan Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui dengan maslahat yang ada di balik itu. Umar radhiyallahu ‘anhu termasuk orang yang tidak setuju dengan hal itu, lalu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Wahai Rosulullah, bukankah kita di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan ?”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Benar”, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata lagi :”Bukankah orang-orang yang terbunuh diantara kita masuk ke dalam surga dan orang-orang yang terbunuh di antara mereka masuk ke dalam neraka?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Benar”. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Kenapa kita bersikap merendah pada agama kita?”, Nabi berkata :”Aku adalah Rosulullah dan Allah adalah penolongku dan aku bukanlah orang yang bermaksiat kepadanya.”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita akan mendatangi baitulloh dan berthowaf ?”, Nabi berkata :”Benar”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi:”Apakah aku mengatakan kepadamu sesungguhnya engkau akan mendatanginya pada tahun ini?”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Tidak”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan berthowaf.”

Umar pun mendatangi Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan berkata kepadanya sebagaimana perkataannya kepada Rosulullah. Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pun menjawab sebagaimana jawaban Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal dia tidak mendengar jawaban Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (kepada Umar). Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang lebih sering sesuai dengan Allah dan Rosul-Nya dari pada Umar radhiyallahu ‘anhu, dan Umar radhiyallahu ‘anhu mengakui kesalahannya dan berkata :”Aku benar-benar akan mengamalkannya”[28]

2. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Umar mengingkari kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tatkala Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Sesungguhnya dia telah wafat”, maka Umar radhiyallahu ‘anhu pun menerimanya.[29]

3. Ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu :”Bagaimana bisa kita memerangi manusia, sedangkan Rosulullah bersabda :”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah Rosulullah. Apabila mereka mengakui hal ini maka terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka, kecuali dengan haknya””, maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Bukanlah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “kecuali dengan haknya”?, sesungguhnya zakat termasuk haknya. Demi Allah kalau mereka itu menolak untuk membayar zakat kepadaku yang mereka membayarnya kepada Rosulullah maka aku akan memerangi mereka karena ketidakmauan mereka”. Berkata Umar radhiyallahu ‘anhu :”Demi Allah tidaklah ada, kecuali aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (orang-orang yang enggan membayar zakat), maka aku mengetahui bahwasanya dia adalah benar”[30]

Faidah yang bisa diambil dari pemaparan ini adalah [31]:

a. Seorang wali tidak ma’sum, bisa berbuat salah, bahkan berkali-kali sebagaimana Umar yang salah berkali-kali.

b. Seorang wali bisa memiliki karomah sebagaimana Umar yang mendapat ilham dari Allah ta’ala.

c. Tidak berarti seseorang yang mendapat karomah berarti lebih mulia daripada wali Allah yang tidak ada karomahnya[32]. Sebagaimana Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih mulia daripada Umar radhiyallahu ‘anhu, namun dia tidak mendapatkan ilham dari Allah ta’ala dan tidak memiliki karomah-karomah sebagaimana yang dimiliki oleh Umar.

Berkata Ibnu Taimyah, ((Dan termasuk perkara yang perlu untuk diketahui bahwasanya karomah terkadang sesuai dengan kebutuhan seseorang. Jika seorang yang lemah imannya membutuhkan karomah atau orang yang butuh maka Allah memberikannya karomah untuk manguatkan imannya dan memenuhi kebutuhannya. Sehingga orang yang kewaliannya lebih sempurna tidak butuh kepada karomah tersebut, maka tidaklah datang kepadanya seperti karomah tersebut karena derajatnya yang tinggi. Dan tidak butuhnya ia kepada karomah tersebut bukan karena derajat kewaliannya yang kurang. Oleh karena itu munculnya karomah lebih banyak terjadi di generasi tabiin dari pada para sahabat. Berbeda dengan kejadian luar biasa yang terjadi melalui tangan-tangan para nabi untuk memberi petunjuk kepada manusia dan kebutuhan manusia…))

d. Seorang wali tetap harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya dan menjauhi larangan-larangan Allah ta’ala dan Rosul-Nya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu yang tetap melaksanakan perintah Allah ta’ala dan RasulNya

e. Walaupun seorang wali, tapi perkataan dan perbuatannya harus ditimbang dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’sum. Sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu dikembalikan (ditimbang) oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan Sunnah Nabi. Berkata Yunus bin Abdil A’la As-Shodafi : Saya berkata kepada Imam Syafi’i : “Sesungguhnya sahabat kami –yaitu Al-Laits- mengatakan :”Apabila engkau melihat sesorang bisa berjalan di atas (Permukaan) air, maka janganlah engkau anggap dia sebelum engkau teliti keadaan (amalan-amalan) orang tersebut, apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.”, lalu Imam Syafi’i berkata :”Al-Laits masih kurang, bahkan kalau engkau melihat seseorang bisa berjalan di atas air atau bisa terbang di udara, maka janganlah engkau anggap ia sebelum engkau memeriksa keadaan (amalan-amalan) orang tersebut apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah”.[33]

Sehingga tidaklah benar anggapan bahwa Aresto adalah wali Allah karena Aresto adalah mentrinya Iskandar yang kafir (karena tidak ada wali Allah dari orang kafir), yang sebagian orang (diantaranya Ibnu Sina) menyangka bahwa Iskandar adalah Dzulqornain.[34]

f.  Seorang wali yang telah jelas bahwasanya perkataan atau perbuatannya menyelisihi Sunnah Nabi, maka dia harus kembali kepada kebenaran. Dan dia tidak menentangnya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak membantah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan berkata :”Tapi saya kan wali, saya kan mendapat ilham dari Allah, saya kan dijamin masuk surga, dan kalian harus menerima perkataan saya”

g.  Seorang wali harus mematuhi syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para Nabi saja kalau hidup sekarang harus mengikuti syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi para wali. Karena jelas para Nabi lebih bertaqwa daripada para wali dari selain Nabi. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :”Tidaklah Allah mengutus seorang nabipun kecuali Allah mengambil perjanjiannya, jika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus dan nabi tersebut masih hidup maka nabi tersebut harus benar-benar beriman kepadanya dan menolongnya. Dan Allah memerintah Nabi tersebut untuk mengambil perjanjian kepada umatnya kalau Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus dan mereka (umat nabi tersebut masih) hidup maka mereka akan benar-benar beriman kepadanya dan menolongnya.”[35]

h.  Seorang wali tidak boleh menyombongkan dirinya dengan mengaku-ngaku bahwa dia adalah wali  sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul kitab yang mereka mengaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah. Allah berfirman :

فَلاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

Dan janganlah kalian menyatakan diri-diri kalian suci. Dia (Allah) yang lebih mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (An-Najm : 32 )

Orang mengaku dirinya adalah wali maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah ta’ala karena telah melanggar larangan Allah ta’ala ini. Dan orang yang bermaksiat tidak pantas disebut wali Allah.[36]

i.  Dan juga bukan termasuk syarat sebagai wali Allah yaitu dia harus memiliki karomah. Namun karomah merupakan tambahan kenikmatan yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari kalangan para wali-Nya.[37]

j.  Dan wali-wali Allah tidak memiliki ciri-ciri yang khusus pada perkara-perkara mubah yang bisa membedakannya dengan manusia yang lain.[38] Pakainnya sama, rambutnya sama, dan yang lainnya juga sama. Ciri-ciri wali tidaklah kembali pada perkara-perkara dunia, namun ciri-ciri wali kembali pada perkara-perkara akhirat. Oleh karena itu jelas kesalahan sebagian orang menyangka bahwa ahlu suffah telah mencapai derajat kewalian karena sekedar sifat mereka yang miskin dan kumuh[39], demikian juga sebagian orang yang menyangka bahwa ciri-ciri wali adalah orang yang memakai sorban, atau memakai tongkat, atau membawa selendang hijau, atau ciri-ciri yang lainnya.


Contoh-contoh karomah para wali Allah [40]:

1.      Amir bin Fahiroh mati syahid, maka mereka mencari jasadnya namun tidak bisa menemukannya. Ternyata ketika dia terbunuh dia diangkat dan hal ini dilihat oleh Amir bin Thufail. Berkata Urwah:”Mereka melihat malaikat mengangkatnya”[41]

2.      Kholid bin Walid ketika mengepung musuh di dalam benteng yang kokoh, maka para musuhpun berkata :”Kami tidak akan menyerah sampai engkau meminum racun”, lalu diapun meminum racun namun tidak mengapa.[42]

3.      Sa’ad bin Abi Waqqos adalah orang yang selalu dikabulkan do’anya. Dan dengan do’anya itulah dia berhasil mengalahkan pasukan Kisro dan menguasai Iroq.[43]

4.      Abu Muslim Al-Khoulani, dia pernah dicari oleh Al-Aswad Al-‘Anasi yang mengaku sebagai nabi. Lalu Al-Aswad bertanya kepada beliau :”Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rosul Allah?”, lalu dia berkata :”Saya tidak dengar”, lalu dia bertanya lagi :”Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rosul Allah?”, beliau menjawab :”Ya”. Lalu disiapkan api dan beliau dilemparkan ke api. Namun mereka mendapatinya sedang sholat di dalam kobaran api itu, api itu menjadi dingin dan keselamatan untuknya.[44]

5.      Sa’id Ibnul Musayyib, di waktu hari-hari yang panas, beliau mendengar adzan dari kuburan Nabi ketika tiba waktu-waktu sholat, dan mesjid dalam keadaan kosong (karena panasnya hari –pent), tidak ada seorangpun kecuali dia.[45]

6.      Uwais Al-Qoroni ketika wafat mereka menemukan di bajunya ada beberapa kain kafan yang sebelumnya tidak ada, dan mereka juga menemukan lubang yang digali di padang pasir yang sudah ada lahadnya. Lalu mereka mengafaninya dengan kefan-kafan teresbut dan menguburkannya di lubang tersebut.[46]

7.      Asid Bin Hudlair membaca surat Al-Kahfi lalu turunlah bayangan dari langit yang ada semacam lentera dan itu adalah para malaikat yang turun karena bacaannya.[47] Dan malaikat pernah menyalami Imron bin Husain radhiyallahu ‘anhu [48]. Salman radhiyallahu ‘anhu dan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu makan di piring lalu piring mereka bertasbih atau makanan yang ada pada piring tersebut bertasbih.[49] Abbad bin Bisyr radhiyallahu ‘anhu dan Asid bin Hudlair radhiyallahu ‘anhu kembali dari Rosulullah pada malam yang gelap gulita. Maka Allah menjadikan cahaya bagi mereka berdua, dan tatkala mereka berpisah maka terpisah juga cahaya tersebut.[50]

8.      Muthorrif bin Abdillah jika memasuki rumahnya maka tempayan-tempayannya bertasbih bersamanya.[51] Dia bersama seorang sahabatnya berjalan di malam hari, lalu Allah menjadikan cayaha untuk mereka berdua.[52]

9.      Ahnaf bin Qois. Ketika dia wafat, tutup kepala milik seseorang terjatuh di kuburannya. Lalu orang tersebut mengambil topinya, dan dia melihat kuburan Ahnaf bin Qois telah menjadi seluas mata memandang.[53]

10.  Utbah Al-gulam, dia meminta kepada Allah tiga perkara, yaitu suara yang indah, air mata yang banyak, dan makanan yang diperoleh tanpa usaha. Dan jika dia membaca Al-Qur’an maka dia menangis dengan air mata yang banyak. Dan jika dia bernaung di rumahnya dia mendapatkan makanan dan dia tidak tahu dari manakah makanan tersebut.[54]

Siapakah wali-wali syaithon ?

Allah ta’ala berfirman :

}وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَاناً فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ{ الزخرف : 36

Dan barang siapa yang berpaling dari pengajaran Ar-Rohman, kami adakan baginya syaithon yang menyesatkan, maka syaithon itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. (Az-Zukhruf : 36)

}هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ, َنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ, يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ{ (الشعراء : 221 -223 )

Apakah akan aku beritahukan kepadamu, kepada siapkah syaithon-syaithon itu turun ?, mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithon) itu, dan kebanyakan mereka adalah pendusta. (As-Syu’aro’ : 221-223)


Contoh-contoh tipuan syaithon

1. Abdullah bin Soyyad. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menguji Ibnu Soyyad (seorang dukun yang hidup di zaman Nabi yang dia adalah seorang Yahudi). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :”(Cobalah tebak) aku menyembunyikan sesuatu (di hatiku)”. Ibnu Soyyad berkata :”Ad-Dukh…Ad-Dukh..”.  Padahal sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menyembunyikan surat Ad-Dukhon. Lalu Nabi berkata kepadanya :”Cih, engkau tidak mampu melampaui kemampuanmu”[55]. Ibnu Soyyad hampir betul menebak apa yang ada di hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini adalah suatu keajaiban, namun dengan bantuan syaithon. Karena seorang yang normal maka dia tidak akan bisa mengetahui isi hati manusia, bahkan Nabi pun tidak mengetahui isi hati manusia kecuali yang diberitahu oleh Allah ta’ala. Para sahabat pun (kecuali Hudzifah, karena dia telah diberitahu oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak mengetahui siapa-siapa saja orang munafik yang ada bersama mereka. [56]
2. Al-Aswad Al-‘Anasi yang mengaku sebagai nabi. Dia dibantu para syaithon yang memberitahukan kepadanya tentang perkara-perkara ghoib. Dan tatkala kaum muslimin memeranginya mereka khawatir para syaithonnya akan mengabarkan kepadanya apa yang mereka bicarakan tentang dirinya (yaitu bahwasanya dia akan dibunuh –pent). Namun istrinya sadar akan kekafiran suaminya maka diapun menolong kaum muslimin.[57]
3. Musailamah Al-Kadzdzab yang juga mengaku sebagai nabi, memiliki syaithon-syaithon yang memberitahukan perkara-perkara gho’ib kepadanya dan membantunya melakukan hal-hal yang ajaib[58]. Diantaranya dia pernah meludah di sumur sehingga air sumur tersebut menjadi melimpah.[59]
4. Al-Harits Ad-Dimasyqi, seorang pembohong besar yang muncul dan mengaku sebagi nabi di Syam pada zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 86 H). Al-Harits memiliki kemampuan ajaib. Para syaithonnya melepaskan kedua kakinya dari belenggu, dan membuatnya kebal senjata, dan batu pualam bisa bertasbih jika dia sentuh dengan tangannya. Dan dia telah memperlihatkan kepada manusia sekelompok orang-orang sedang berjalan di udara dan naik kuda terbang di udara, dia berkata : “Mereka adalah malaikat”, padahal mereka adalah jin. Dan tatkala kaum muslimin menangkapnya untuk dibunuh, maka ada orang yang menombaknya di tubuhnya, namun tidak mempan. Maka Abdul Malik berkata kepadanya :”Engkau tidak menyebut nama Allah”. Lalu orang itu menyebut nama Allah dan berhasil membunuh Al-harits.[60]
5. Lia ‘Aminuddin, yang mengaku sebagai Imam Mahdi dan mengaku telah didatangi oleh Jibril. Keajaiban yang ada padanya yaitu dia mampu untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Bahkan dia mengaku adalah seseorang yang memberantas bid’ah dan kesyririkan[61].

Syubhat-syubhat

Syubhat pertama

Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada manusia pada umumnya namun tidak pada manusia-manusia yang khusus yaitu para wali, dan para wali tersebut tidak butuh kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka memiliki cara tersendiri untuk mencapai Allah ta’ala. Sebagaimana Nabi Musa tidaklah diutus kepada Nabi Khidir sehingga Nabi Khidir tidak wajib mengikuti syari’at Musa.[62]

Jawab [63]:

Perkataan ini sebagaimana perkataan kebanyakan para ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada orang-orang yang tuna aksara bukan kepada mereka. Dan pendalilan dengan kisah antara Khidir dan Musa adalah tidak tepat, sebab :

a.      Kisah yang terjadi antara nabi Musa dan Khidir hanyalah bisa dijadikan dalil kalau ternyata Khidir adalah seorang wali dan bukan seorang nabi. Ulama berselisih pendapat tentang status Khidir, ada yang berpendapat bahwa ia adalah seorang hamba yang sholeh, namun pendapat yang benar bahwasanya khidr adalah seorang nabi dan bukan seorang wali.

Yang menunjukan bahwa Khidr adalah seorang nabi adalah sebagai berikut:

1.      Firman Allah

فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً {65}

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS. 18:65)

Hal ini menunjukan bahwa Allah telah memberi wahyu kepada Khidir

2.      Firman Allah

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْداً {66} قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً {67} وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْراً {68} قَالَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً {69} قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْراً

Musa berkata kepada Khidhr:”Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu” (QS. 18:66) Dia menjawab:”Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. (QS. 18:67) Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu” (QS. 18:68) Musa berkata:”Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”. (QS. 18:69) Dia berkata:”Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tetang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”. (QS. 18:70)

Berkata Ibnu Katsir, ((Jika seandainya Khidr adalah seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berbicara dengan dia seperti ini, dan tidaklah Khidir menjawab Musa dengan seperti ini. Bahkan Musa hanyalah meminta kepada Khidr agar menemaninya untuk memperoleh ilmu yang dimilikinya yang Allah khususkan baginya dan bukan untuk selainnya. Kalau Khidir bukanlah nabi maka ia tidaklah ma’sum (terjaga dari kesalahan) dan tidaklah Musa -yang ia seorang nabi yang agung dan seorang rasul yang mulia, yang ma’sum- memiliki keinginan yang sangat besar dan permintaan yang besar untuk mencari ilmu seorang wali yang tidak ma’sum. Dan tidaklah ia akan bersungguh-sungguh untuk pergi mencari Khidir dan menelusurinya meskipun memakan waktu yang lama. Dikatakan bahwa masa ia mencari Khidr adalah 80 tahun. Kemudian tatkala ia bertemu dengan Khidir maka Musapun bersikap tunduk kepadanya dan mengagungkannya serta mengikutinya sebagaimana orang yang ingin mencari faedah dari Khidir. Hal ini (semua) menunjukan bahwa Khidir adalah seorang nabi seperti Musa yang diberi wahyu kepadanya sebagaimana diberi wahyu kepada Musa. Dan iapaun telah dikhususkan dengan ilmu laduuni dan rahasaia-rahasia kenabian yang tidak Allah beritahukan kepada Musa Al-Kaliim yang merupakan nabi bani Israil yang mulia. ))[64]

3.      Ibnu Katsir berkata, ((Khidir memberanikan diri untuk membunuh anak tersebut, dan tidaklah hal itu dilakukannya kecuali karena wahyu yang disampaikan kepadanya oleh malaikat pemberi kabar. Dan ini merupakan dalil tersendiri akan kenabian Khidir dan petunjuk yang jelas akan kema’sumannya, karena seorang wali tidak boleh baginya untuk membunuh jiwa manusia hanya dengan sekedar apa yang diilhamkan ke dadanya. Karena perasaan (yang diilhamkan) kepadanya tidaklah ma’sum, mungkin saja perasaannya itu. salah Dan ini merupakan hal yang disepakati. Maka tatkala Khidir maju membunuh anak tersebut yang belum dewasa dengan ilmunya bahwa anak itu jika mencapai usia dewasa akan membawa kedua orangtuanya kepada kekufuran karena besarnya kecintaan kedua orangtuanya kepadanya sehingga menyebabkan keduanya mengikutinya, maka membunuh anak tersebut ada kemaslahatan yang besar yang lebih daripada dibiarkan hidup demi menjaga kedua orangtuanya dari kekufuran dan akibat kekufuran. Hal ini menunjukan akan kenabian Khidir dan ia dibantu oleh Allah dengan kema’sumannya))[65]

4.      Berkata Ibnu Katsir, ((Tatkala Khidir menjelaskan kepada Musa sebab-sebab perbuatannya, dan ia menerangkan hakikat perkaranya  maka ia berkata setelah itu,

رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي {82}

“Sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri”. (QS. 18:82)

Yaitu, “Apa yang telah aku perbuat bukanlah dari perasaanku akan tetapi aku diperintahkan untuk melakukannya dan diwahyukan kepadaku”

Maka keempat sisi di atas ini menunjukan akan kenabian Khidir, dan hal ini tidaklah menafikan kewaliannya bahkan tidak menafikan kerasulannya sebagaimana pendapat yang lain…

Dan jika telah tetap apa yang kami sebutkan maka tidak tersisa dalil dan sandaran yang bisa dipegang oleh orang yang mengatakan kewalian Khidir bahwasanya seorang wali terkadang bisa mengetahui hakikat perkara-perkara tanpa diketahui oleh para pemimpin syari’at yang zhohir (para rasul)…))[66]

b.            Kalaulah memang Khidir adalah seorang wali bukan seorang nabi maka nabi Musa tidaklah diutus kepada Khidir (tetapi hanya diutus untuk bani Isroil), sehingga Khidir tidaklah wajib mengikuti nabi Musa ‘alaihissalam.

Oleh karena itu Khidir berkata kepada Musa : “Aku diatas ilmu yang diajarkan Allah kepadaku yang tidak kau ketahui dan engkau di atas ilmu yang Allah mengajari engkau yang aku tidak mengetahuinya”[67]. Dan tidak boleh bagi seorangpun yang sampai kepadanya risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berkata sebagaimana perkataan Khidir ini.

Adapun Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam risalahnya umum untuk seluruh jin dan manusia. Bahkan jika ada orang yang lebih mulia dari Khidir (seperti Ibrohim, Musa, dan Isa) bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia wajib mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi Khidir jika ia hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [68] tentu lebih wajib lagi baginya untuk mengikuti syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman dalam surat Ali Imron : 81 :

}وَإِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّيْنَ لَمَا آتَيْتُكُم مِّن كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءكُمْ رَسُولٌ مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُواْ أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُواْ وَأَنَاْ مَعَكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ{


”Dan (ingatlah) tatkala  Allah mengambil perjanjian dari para nabi:”Sungguh apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang Rosul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepada Rosul tersebut dan sungguh-sungguh akan menolongnya”. Allah berfirman :”Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu ?”, mereka menjawab :”Kami mengakui”. Allah berfirman :”Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

فإنه لو كان موسى حيا بين أظهركم ما حل له إلا أن يتبعني

“Sesungguhnya kalau Musa hidup di tengah-tengah kalian maka tidaklah boleh baginya kecuali mengikuti aku”[69]

Berkata Ibnu Katsir, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi selamanya hingga hari kiamat, dan dia adalah Imam yang teragung yang seandainya jika ia hidup di zaman kapan saja maka yang wajib adalah mendahulukan ketaatan kepadanya di atas ketaatan kepada seluruh nabi-nabi yang lain. Oleh karena itu Nabilah yang mengimami mereka tatkala malam isro’ mi’roj tatkala para nabi berkumpul di baitul maqdis. Dan ia juga (satu-satunya) pemberi syafa’at di padang mahsyar agar Allah datang untuk memutuskan perkara diantara hamba-hambaNya, dan ia adalah Al-Maqoom Al-Mahmuud yang tidak pantas kecuali untuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam”[70]

c. Apa yang telah dilakukan oleh Khidir[71] tidaklah menyelisihi syari’at Musa. Musa tidaklah mengetahui sebab yang membolehkan hal-hal itu. Dan ketika Khidir menjelaskan sebab-sebab tersebut Musa menyetujuinya. Sehingga berkata Ibnu Abbas kepada Najdah Al-Harwari ketika dia bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang membunuh anak-anak kecil: إن كنت علمت منهم ما علمه الخضر من ذلك الغلام فاقتلهم، وإلا فلا تقتلهم “Jika kamu mengetahui anak-anak tersebut sebagaimana yang diketahui oleh Khidir tentang anak kecil (yang dibunuhnya) maka bunuhlah mereka, dan jika tidak maka jangan.”[72]

Berkata Ibnu Taimiyah dalam Al-Furqon, ((Sebagaimana dintara orang-orang kafir ada yang mengaku-ngaku bahwasanya ia adalah wali Allah padahal ia bukan wali Allah namun sebaliknya ia adalah musuh Allah maka demikian juga  hal ini  terdapat diantara orang-orang munafik yang menampakan Islam dan menampakkan pembenaran syahadatain dan menampakan bahwa mereka mengakui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk seluruh manusia bahkan untuk seluruh jin dan manusia padahal di dalam batin mereka berkeyakinan yang sebaliknya (maksud beliau adalah orang-orang yang mengaku wali namun tidak mau mengamalkan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -pen), contohnya

–          Mereka meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah seorang utusan Allah, ia hanyalah seorang raja yang ditaati  yang mengatur manusia dengan kepandaiannya sebagaiamana raja-raja yang lain.

–          Atau mereka berkata bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah diutus kepada ummiyin (orang-orang yang tuna aksara) dan tidak diutus kepada ahli kitab sebagaimana yang didengungkan oleh kebanyakan orang-orang Yahudi dan Nasrani,

–          Atau ia diutus untuk seluruh manusia namun Allah memiliki wali-wali khusus yang Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah diutus kepada mereka, dan para wali itu tidak butuh kepadanya bahkan mereka memiliki jalan untuk menuju kepada Allah tanpa melalui jalannya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mereka (para wali) mengambil langsung dari Allah apa saja yang mereka butuhkan untuk dimanfaatkan tanpa melalui perantara

–          Atau Muhammad itu diutus dengan syari’at yang dzhohir dan mereka (para wali) menyetujuinya dalam hal ini, adapun hakikat yang batin maka ia tidak diutus dengan hakikat batin, atau mereka mengatakan bahwa mereka lebih paham tentang hakekat batin, atau mereka mengatakan bahwa mereka mengerti hakekat batin sebagaimana Muhammad mengetahuinya hanya saja mereka mengetahuinya tanpa melalui jalannya, atau ia tidak mengetahui hakekat batin.

Sebagian mereka berkata bahwasanya ahlus suffah[73] (penghuni suffah) mereka tidak butuh kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah diutus kepada mereka, dan diantara mereka ada yang berkata bahwasanya Allah memberi wahyu kepada ahlus suffah di batin mereka berupa apa yang diwahyukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam mi’roj (dinaikkan ke sidratul muntaha) maka jadilah ahlus suffah kedudukannya seperti kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka yang mengatakan demikian sungguh terlalu bodoh karena tidak mengetahui  bahwasanya isro’ mi’roj terjadi tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah sebagaimana firman:

}سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ{ (الاسراء:1)

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. 17:1)

Mereka juga tidak tahu bahwasanya suffah itu adanya di Madinah yaitu di utara masjid Nabawi yang ditempati oleh orang-orang yang asing yang tidak memiliki keluarga atau sahabat yang bisa ditinggali oleh mereka. Kaum mukminin mereka berhijroh ke Madinah maka barangsiapa yang memungkinkan bagi mereka untuk tinggal di suatu tempat maka di situlah ia tinggal dan barangsiapa yang tidak bisa maka ia tinggal di masjid Nabawi hingga mendapatkan tempat tinggal. Dan bukanlah ahlus suffah adalah orang-orang tertentu yang selalu tinggal di suffah namun jumlah mereka terkadang sedikit dan terkadang banyak, seseorang tinggal di situ pada waktu tertentu kemudian meninggalkan tempat tersebut.

Para penghuni suffah mereka sama juga seperti kaum mukminin yang lainnya, mereka tidak memiliki keutamaan (kelebihan) khusus dalam bidang ilmu atau agama bahkan diantara mereka ada yang murtad (keluar) dari agama Islam dan dibunuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaiamana “Uroniyyiin” yang tidak betah tinggal di Madinah maka Nabi memerintah mereka untuk mencari onta yang ada susunya dan memerintah mereka untuk meminum susunya dan air kencingnya. Tatkala mereka sehat mereka membunuh penggembala onta tersebut dan membawa lari beberapa onta maka Nabipun mengutus pelacak untuk melacak jejak mereka lalu merekapun tertangkap dan dibawa di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah untuk memotong tangan-tangan dan kaki-kaki mereka dan mata-mata mereka di biarkan terbuka lalu mereka dijemur di bawah terik matahari dan mereka meminta minum namun tidak diberi minum. Hadits tentang kisah mereka terdapat di shahihain (Bukhari dan Muslim) dari hadits Anas dan dalam hadits tersebut disebutkan bahwasanya mereka menghuni suffah[74], maka mereka juga menetap di suffah sebagaimana para penghuni yang lainnya. Dan suffah juga pernah ditinggali oleh seorang diantara kaum muslimin yang terbaik yaitu Sa’ad bin Abi Waqqosh dan ia adalah orang terbaik yang pernah tinggal di suffah kemudian ia berpindah dari suffah tersebut. Demikian juga pernah ditinggali Abu Huroiroh dan yang lainnya….

Adapun kaum Anshor mereka tidak termasuk penghuni suffah, dan demikian juga para sahabat senior seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Tolhah, Az-Zubair, Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat yang lain, mereka bukanlah termasuk penghuni suffah. Dan diriwayatkan bahwa Budak milik Al-Mugiroh bin Syu’bah (yaitu yang telah membunuh Umar bin Al-Khothtob-pen) juga pernah tinggal di suffah. Dan diriwayatkan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentangnya, “Ini (Budak Mugiroh) adalah termasuk dari yang tujuh”, dan ini adalah hadits palsu berdasarkan kesepakatan para ulama meskipun diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitabnya Al-Hilyah, dan demikian juga semua hadits yang berkaitan dengan jumlah para wali, atau abdal, atau nuqoba’, atau autaad, aqtoob…..

Maksud dari pembicaraan ini ada di antara orang-orang yang pada dzhohirnya (tampak luarnya) mengakui risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk seluruh umat manusia namun di dalam batin mereka meyakini perkara-perkara yang membatalkan pengakuan dzohir mereka, dan mereka mengaku-ngaku bahwa mereka adalah para wali Allah padahal mereka menyimpan kekufuran di dalam batin mereka…sebagaimana banyak dari orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mengaku-ngaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah dan mereka meyakini bahwa Muhammad adalah utusan Allah namun mereka berkata, “Muhammad hanyalah diutus untuk selain ahlul kitab dan tidak wajib bagi kami untuk mengikutinya karena telah diutus kepada kami rosul sebelum dia”…))

Beliau juga berkata, ((Harus terdapat dalam keimananmu bahwasanya engkau beriman bahwa Muhammad adalah penutup para nabi dan Allah telah mengutusnya untuk seluruh manusia dan jin, maka siapa saja yang tidak beriman dengan apa yang dibawa oleh Muhammad maka ia bukanlah seorang mukmin, apalagi termasuk wali-wali Allah yang bertakwa. Barangsiapa yang beriman dengan sebagian yang dibawanya dan kafir kepada sebagian yang lain maka ia adalah orang kafir dan bukan odrang mukmin sebagaimana firman Allah

}إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً أُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا وَالَّذِين

Artikel asli: https://firanda.com/68-perbedaan-antara-wali-wali-allah-dan-wali-wali-syaithon.html